RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SMK Widya Praja Ungaran
Mata
Pelajaran : Bahasa
Indonesia
Kelas
/ Semester : XI / I
Materi
Pembelajaran : Teks cerita pendek
Tema : Menemukan
Solusi Atas Masalah Kewirausahaan
Alokasi
Waktu : 4 x 45 Menit ( 2 x pertemuan)
A.
Kompetensi
Inti
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya
2.
Menghayati dan mengamalkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama,
toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia
3.
Memahami, menerapkan, dan
menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya
untuk memecahkan masalah
4.
Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang
dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif,
serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
B.
Kompetensi
Dasar
1.3
Mensyukuri anugerah Tuhan
akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi
dalam mengolah, menalar, dan menyajikan
informasi lisan dan tulis melalui teks cerita pendek, berita,
iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi
dalam novel
2.1
Menunjukkan
perilaku jujur, responsif dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menyampaikan cerita sejarah tentang
tokoh-tokoh nasional dan internacional
3.2
Membandingkan teks cerita
pendek, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalamnovel baik
melalui lisan maupun tulisan
4.2
Memproduksi
teks cerita pendek, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalamnovel
yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisan
C.
Indikator Pencapaian
Kompetensi
3.2.1 Menemukan
persamaan dari dua teks cerita pendek dari segi struktur dan kaidah
kebahasaanya
3.2.2 Menemukan
perbedaan dari dua teks cerita pendek dari segi struktur dan kaidah
kebahasaannya
4.2.1 Menemukan
informasi untuk menulis teks cerita pendek
4.2.2 Menulis
kerangka karangan teks cerita pendek
4.2.3 Mengembangkan
kerangka karangan menjadi teks cerita pendek yang utuh
D.
Materi
Pembelajaran
1.
Unsur teks cerita
pendek
2.
Kaidah kebahasaan teks
cerita pendek
3.
Langkah-langkah
memproduksi teks cerita pendek
E.
Kegiatan
Pembelajaran
Pertemuan
Pertama (2 jam pelajaran/90 menit)
Pendekatan : Scientific
Model : Problem Based Learning
Teknik :ceramah, tanya jawab, diskusi,
penugasan
No
|
Kegiatan
|
Waktu
|
Teknik
|
1
|
Kegiatan
Pendahuluan
1) Siswa
menyimak ilustrasi yang disampaikan
oleh guru
2) Siswa menyimak tujuan pembelajaran membandingkan teks cerita pendek yang
disampaikan oleh guru
3) Siswa menyimak manfaat pembelajaran membandingkan teks cerita pendek yang disampaikan oleh
guru
4) Siswa menyimak motivasi yang disampaikan oleh guru
|
10 menit
|
Ceramah, tanya jawab
|
2
|
Kegiatan
Inti
Mengamati
1) Siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok
2) Siswa
membaca teks cerita pendek berjudul Juru Masak dan Sulaiman Pergi ke Tanjung
Cina
Menanya
1) Siswa
menanyakan hal-hal yang belum dipahami terkait membandingkan teks cerita
pendek
Mengumpulkan
Informasi
1)
Siswa menerima lembar
kerja untuk mencari persamaan dan perbedaan dua teks cerita pendek
2)
Siswa mengidentifikasi struktur dan kaidah
kebahasaan teks cerita pendek yang sudah dibaca
Mengasosiasi
1)
Siswa berdiksusi
mengenai persamaan dan perbedaan kedua teks cerita pendek tersebut
2)
Siswa menuliskan hasil jawaban di lembar kerja
Mengomunikasikan
1) Siswa
mewakili kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas
2) Siswa
lain menanggapi pemaparan temannya dengan proaktif dan peduli
|
70 menit
|
Ceramah, penugasan, tanya jawab, diskusi
|
3
|
Kegiatan
Akhir
1) Siswa dan guru membuat simpulan tentang pembelajaran
membandingkan dua teks cerita pendek
2) Siswa
dan guru mengadakan refleksi terkait dengan pembelajaran yang telah
dilaksanakan
3) Siswa
dan guru mengadakan evaluasi terkait dengan pembelajaran yang telah
dilaksanakan
4) Siswa
menyimak tindak lanjut dari guru
|
10 menit
|
Ceramah, tanya jawab
|
Pertemuan
Kedua (2 Jam Pelajaran/90 menit)
Pendekatan : Scientific
Model : Problem Based Learning
Teknik : Ceramah, diskusi, tanya
jawab, penugasan
No
|
Kegiatan
|
Waktu
|
Teknik
|
1
|
Kegiatan
Pendahuluan
1) Siswa
dan guru melakukan tanya jawab
tentang materi lama yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan
2) Siswa menyimak tujuan pembelajaran memproduksi teks cerita pendek yang disampaikan oleh guru
3) Siswa menyimak manfaat pembelajaran memproduksi teks cerita pendek yang disampaikan oleh guru
|
10 menit
|
Ceramah, tanya jawab
|
2
|
Kegiatan
Inti
Mengamati
1) Siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok
2) Siswa
duduk sesuai dengan kelompoknya
3) Tiap-tiap
kelompok diberikan sebuah peristiwa sejarah yamg akan dikembangkan menjadi teks
cerita pendek yang utuh
4) Siswa
membaca contoh teks cerita pendek sesuai dengan teks cerita pendek
masing-masing
Menanya
1) Siswa
dan guru melakukan tanya jawab mengenai
langkah-langkah menulis teks cerita seajrah
Mengumpulkan
Informasi
1)
Siswa bekerja secara
kelompok untuk mengumpulkan informasi-informasi untuk menyusun teks cerita
pendek
Mengasosiasi
1)
Siswa berdiksusi untuk
membuat kerangka karangan
2)
Siswa mengembangkan
kerangka karangan menjadi teks cerita pendek yang utuh
Mengomunikasikan
1)
Perwakilan dari
kelompok menyampaikan hasil pekerjaannya di depan kelas
2)
Siswa yang lain
menyimak dan menanggapi dengan proaktif
|
70 menit
|
Diskusi, ceramah, tanya jawab, penugasan
|
3
|
Kegiatan
Akhir
1)
Siswa dan guru membuat simpulan tentang memproduksi teks cerita pendek
2)
Siswa dan guru
mengadakan refleksi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
3)
Siswa dan guru
mengadakan evaluasi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
4)
Siswa menyimak tindak
lanjut dari guru
|
10 menit
|
Ceramah, tanya jawab
|
F.
Penilaian, Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
1. Teknik Penilaian: Observasi, Tes Tertulis, dan Produk.
2. Instrumen Penilaian
a. Pertemuan 1
1) Lembar Observasi
2) Soal Uraian
b. Pertemuan 2
1) Lembar Observasi
2) Produk
3. Remidial dan Pengayaan
a. Remidial: Pemberian bimbingan khusus mengenai kegiatan
mengidentifikasi informasi isi serta menyimpulkan isi teks laporan hasil
observasi.
b. Pengayaan: Secara mandiri siswa mencari teks laporan hasil
observasi di buku pengetahuan populer lalu mengidentifikasi informasi isi serta
menyimpulkan isi teks yang didapatkan.
G.
Media/Alat,
Bahan, dan Sumber Belajar
1. Media : Power point
langkah-langkah memproduksi teks cerita pendek
2. Alat
dan bahan : Laptop, LCD, Proyektor
3. Sumber
Belajar :
Kemdikbud, 2015. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan
Akademik. Kelas XII. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud, 2015. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan
Akademik: Buku guru. Jakarta: Kemdikbud.
Ungaran,
Mengetahui,
Kepala
SMK Widya Praja Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
.................................................... ...............................................................
( Drs. Eko Sutanto) (Dwi Putra W.S.A.P)
LAMPIRAN 1. Bahan
Ajar
1.
Struktur Teks cerita pendek
§ Bagian abstrak merupakan ringkasan atau inti cerita. Abstrak pada
sebuah teks cerita pendek bersifat opsional. Artinya sebuah teks cerpen bisa
saja tidak melalui tahapan ini.
§ Tahapan orientasi merupakan struktur yang berisi pengenalan latar
cerita berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam
cerpen. Latar digunakan pengarang untuk menghidupkan cerita dan meyakinkan
pembaca. Dengan kata lain, latar merupakan sarana pengekspresian watak, baik
secara fisik maupun psikis.
§ Komplikasi berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pada tahapan struktur ini, kalian
akan mendapati karakter atau watak pelaku cerita yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu dan hal itu diekspresikan
dalam ucapan dan tindakan tokoh. Dalam komplikasi itulah berbagai kerumitan
bermunculan
§ Klimaks ini merupakan keadaan yang mempertemukan berbagai konflik
dan menentukan bagaimana konflik tersebut diselesaikan dalam sebuah cerita.
Untuk mencapai sebuah selesaian atau leraian, diperlukan evaluasi. Pada tahapan
evaluasi ini, konflik yang terjadi diarahkan pada pemecahannya sehingga mulai
tampak penyelesaiannya.
§ Setelah itu, kalian akan mengenal struktur berikutnya, yaitu
resolusi. Padaresolusi, pengarang akan mengungkapkan solusi dari berbagai
konflik yang dialami tokoh. Resolusi berkaitan dengan koda. Ada juga yang
menyebut koda dengan istilah reorientasi.
§ Koda merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh
pembaca dari sebuah teks. Sama halnya dengan tahapan abstrak, koda ini bersifat
opsional.
2.
Kaidah Bahasa Teks cerita
pendek
§ Gaya bahasa merupakan bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda
atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Penggunaan gaya
bahasa ini dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa
merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata dalam berbicara dan menulis
untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Terdapat sekitar 60
gaya bahasa. Namun, Gorys Keraf membaginya menjadi empat kelompok, yaitu gaya
bahasa perbandingan (metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori,
antitesis, dan sebagainya), gaya bahasa pertentangan (hiperbola, litotes,
ironi, satire, paradoks, klimaks, antiklimaks, dan sebagainya), gaya bahasa
pertautan (metonimis, sinekdoke, alusi, eufemisme, elipsis, dan sebagainya),
dan gaya bahasa perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, anafora,
simploke, dan sebagainya). Agar kalian lebih mengetahui gaya bahasa ini secara
mendalam, sebaiknya kalian mencari referensi lain mengenai gaya bahasa dari
berbagai sumber. Baca dan pelajarilah.
§ Kosakata sulit
3.
Langkah-Langkah Memproduksi
Teks cerita pendek
1. Menentukan tema cerita pendek
2. Menyusun kerangka karangan sesuai dengan struktur
teks cerita pendek
3. Mengembangkan kerangka menjadi karangan yang utuh
LAMPIRAN
2. Instrumen Penilaian
1. Teknik dan Bentuk Instrumen
Teknik
|
Bentuk
|
Pengamatan Sikap
|
Lembar
Pengamatan Sikap dan Rubrik
|
Tes Unjuk Kerja
|
Tes
Uji Petik Kerja dan Rubrik
|
2. Instrumen Penilaian
Pengamatan Sikap
a. Lembar Pengamatan Sikap
No
|
Nama Siswa
|
Religius
|
Jujur
|
Disiplin
|
Peduli
|
Santun
|
||||||||||||||||
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
|||
1.
|
||||||||||||||||||||||
2.
|
||||||||||||||||||||||
3.
|
||||||||||||||||||||||
….
|
||||||||||||||||||||||
b. Rubrik penilaian sikap
Rubrik
|
Skor
|
Sama sekali tidak menunjukkan
usaha sungguh-sungguh dalam melakukan
kegiatan
|
BT
|
Menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan tetapi masih
sedikit dan belum konsisten
|
MT
|
Menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan yang cukup sering dan mulai konsisten
|
MB
|
Menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan secara terus-menerus dan konsisten
|
MK
|
Nilai
Sikap = (Jml skor diperoleh : 16) x 100
a. Tes
uji petik kerja Interpretasi teks (Kelompok)
1. Baca
dan diskusikan teks laporan hasil observasi yang telah kalian terima dari guru!
2. Carilah
kalimat utama pada setiap paragraf teks laporan hasil observasi!
3. Tentukan
gagasan pokok yang ada pada setiap paragraf!
4. Rangkumlah
kumpulan kalimat utama pada semua semua paragraf teks editorial/opini!
5. Komunikasikan
hasil kerja kelompok kalian kepada kelompok lainnya!
Rubrik
Unjuk Kerja :
No.
|
Aspek dan Deskripsi
|
Skor Maksimal
|
1.
|
Menyimpulkan
teks
Skor
5 bila simpulan teks tepat
Skor
3 bila simpulan teks kurang tepat
Skor
1 bila simpulan teks tidak tepat
|
5
|
2.
|
Penggunaan
bahasa dalam menyimpulkan
Skor
5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor
3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor
1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.
|
5
|
3.
|
Penggunaan
bahasa dalam mengomunikasikan hasil
Skor
5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor
3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor
1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.
|
5
|
4.
|
Keaktifan
kelompok
Skor
5 bila kelompok aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.
Skor
3 bila kelompok kurang aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.
Skor
1 bila kelompok tidak aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.
|
5
|
Jumlah
|
20
|
Nilai
Keterampilan = (Jumlah skor diperoleh : 20) x 100
b. Tes
Uji petik kerja
1. Baca dan diskusikan
teks laporan hasil observasi yang telah kalian terima dari guru!
2. Carilah kalimat
utama pada setiap paragraf teks laporan hasil observasi!
3. Tentukan gagasan
pokok yang ada pada setiap paragraf!
4. Rangkumlah kumpulan
kalimat utama pada semua semua paragraf teks editorial/opini!
Rubrik Unjuk Kerja :
No.
|
Aspek dan Deskripsi
|
Skor Maksimal
|
1.
|
Menyimpulkan
teks
Skor
5 bila simpulan teks tepat
Skor
3 bila simpulan teks kurang tepat
Skor
1 bila simpulan teks tidak tepat
|
5
|
2.
|
Penggunaan
bahasa dalam menyimpulkan
Skor
5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor
3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor
1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.
|
5
|
Jumlah
|
10
|
Nilai
Keterampilan = (Jumlah skor diperoleh : 10) x 100
Tes
Uraian
Petunjuk
a.
Bacalah
secara cermat teks cerita pendek berjudul “Juru Masak” dan “Sulaiman Pergi ke
Tanjung Cina”
b.
Setelah
itu, lengkapilah kolom struktur teks cerita pendek berikut!
Struktur
|
Juru Masak
|
Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
|
Orientasi
|
||
Urutan Peristiwa
|
||
Reorientasi
|
||
Persamaan
|
||
Perbedaan
|
Juru Masak
Perhelatan bisa
kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai kambing akan terasa
hambar lantaran
racikan bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah gulai
kentang dan
gulai rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa
parut hingga
setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah
fitnah dan cela
yang mesti ditanggung tuan rumah. Bukan karena kenduri
kurang meriah,
tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan
pengantin tak
sedap dipandang mata, tetapi karena macam-macam hidangan
yang tersuguh
tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tetapi helat
tak bikin
kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tidak
dilibatkan.
Beberapa tahun
lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang
digelar dengan
menyembelih tiga belas ekor kambing dan berlangsung selama
tiga hari,
tidak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai
pria merasa
dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah
berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri
berlangsung
akan
dipercayakan kepada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang
ini. Namun, di
hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai
pria tiba,
gulai kambing, gulai nangka, gulai kentang, gulai rebung, dan aneka
hidangan yang
tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga
calon besan itu
bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan
masakan Makaji.
“Kalau besok
gulai nangka masih sehambar ini, kenduri tak usah dilanjutkan!”
ancam Sutan
Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya
mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin
helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah
pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar,
sehambar gulai
kambing dan gulai rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangan
dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan
membantu
keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli
apakah tuan
rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak
atau orang
biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji
tak pilih
kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh
Panjang. Di
usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap
gesit meracik
bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
***
“Separuh umur
Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung
ini, bagaimana
kalau tanggung jawab itu dibebankan pada yang lebih muda?”
saran Azrial,
putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah
saatnya Ayah berhenti.”
“Belum! Akan
Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik
bumbu,” balas
Makaji waktu itu.
“Kalau memang
masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru
masak di salah
satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi
berjauhan
dengan Ayah.”
Sejenak Makaji
diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orang tua memang
selalu begitu,
walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya,
meski sepahit
empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang
ia menimbang.
Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu.
Orang tua mana
yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan
kini, gayung
telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial akan segera
memboyongnya ke
rantau. Makaji tetap akan mempunyai kesibukan di Jakarta,
ia akan jadi
juru masak di rumah makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri
siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun.
Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah
sanggupi, malu
kalau tiba-tiba dibatalkan.”
Merah padam
muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis
Mangkudun kalau
bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab
hengkangnya ia
dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak
perempuan
tunggal beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di
Lareh Panjang,
ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini
miliknya. Sejak
dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu
beres di tangannya.
Mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang, atau tambak
ikan sebagai
agunan. Dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian
itu.
Masih segar
dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat
dari akademi
perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa
bersekolah
tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial
itu benar-benar
akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan
siapa-siapa,
hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer
sebagai
sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia
jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru
masak!” bentak
Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung
juga di telinga
Azrial.
“Dia laki-laki
taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami berjodoh.”
“Apa kau
bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan
saya carikan
kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah
kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat
keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat
keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah
tak
berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya
Mangkudun
memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati
Azrial
melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa
luka hati.
Awalnya ia
hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang perantau
dari Lareh
Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi
sedikit dikumpulkannya
modal, agar tidak selalu bergantung pada induk
semang. Berkat
kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini
sudah jadi
juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak
buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan.
Barangkali, ada
hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis
Mangkudun.
Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling
sukses di
rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula,
sejak ibunya
meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang
merawat.
Adik-adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang.
Meski hidup
Azrial sudah berada, tetapi ia masih saja membujang. Banyak yang
ingin
mengambilnya jadi menantu, tetapi tak seorang perempuan pun yang
mampu
meluluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni,
atau
jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
***
Kenduri di
rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan
ke langit,
pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka
peninggalan
sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar
kenduri bukan
orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang
dipertontonkan.
Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna
menyambut kedatangan
mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian
memeriahkan
pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu.
Maklumlah,
menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tetapi perwira
muda kepolisian
yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara,
orang disegani
di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak
membantu
laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian
hingga resmi
jadi perwira muda. Terdengar kabar bahwa perjodohan itu
terjadi karena
keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan
Mangkudun di
masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun
benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan
mencarikan
jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih
bermartabat.
Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi,
perwira muda
polisi yang bila tidak “macam-macam” tentu kariernya lekas
menanjak. Duh,
betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tetapi,
pesta yang
digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh
ekor kambing
itu tidak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang
hanya datang di
hari pertama, sekadar menyaksikan benda-benda pusaka adat
yang
dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik
meninggalkan
helat. Bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan,
sudah tergesa
pulang.
“Gulai
kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah gulai
rebungnya encer seperti kuah sayur toge. Kembang perut kami
dibuatnya.”
“Masakannya tak
mengenyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung,
kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria
diam-diam juga
kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan
menu masakan
yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang
tak kempuh.
Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di
Lareh Panjang
mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu rasa masakan hasil
olah tangan
juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji
tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu
mereka
bertanya-tanya.
“Sia-sia saja
kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu.”
“Ah, menyesal
kami datang ke pesta ini.”
***
Dua hari
sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji datang
dari Jakarta.
Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah
berada di
Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari
tua di dekat
anaknya. Orang-orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak
handal yang
pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga
ke telinga
pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan
betapa
terpiuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya
telah
dipersunting lelaki lain.
(Sumber:
Damhuri Muhammad, 2009, Juru Masak: Sehimpun Cerita Pendek, Depok:
Koekoesan)
Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut
kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu
kehidupan tajam
yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup
perlahan
memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di
langit
menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di
sanalah
Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur
dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup,
karangkarang
yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia,
dari
Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk
damar,
dan awan awan biru—semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta
untuk
kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya,
menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas
hamparan kain
sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang
mabuk, dan putus
asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian
kepada tanah
tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai,
menggambar
pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk.
Menjadi naga
yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung,
menjadi
liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang
berkelit dan
berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih
awan. Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang
membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari.
Begitu indah,
dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau
Menjukut
ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya
ke arah
laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai
Tanjung
Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu
ia selalu akan
meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu,
istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh
jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku
bicara
padamu!”
***
Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut di pagi
hari,
maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari
kehangatan
perpaduan kepundan dan matahari—yang kehangatan udaranya mungkin
tidak
akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang
sepenggalah
hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan
bergerak cepat
memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah
surga
dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga
petang.
Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari,
yang
mencipta gairah untuk syarat berkembang-biak—ratusan, bahkan
mungkin
ribuan tahun—tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu
bergeser,
hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol
berlesatan
menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan
hitam itu
akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak
bercericit
menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar
Lampung.
Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang.
Istana tempat
terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman,
berupa
gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak
berjendela.
Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, adalah
jebakan cerdik
yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari kehidupan
lepas
di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan.
Sesungguhnyalah,
walet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan
jalan
pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk
berpikir tentang
kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan
walet memadati
jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya,
yang
kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat
tinggi.
Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak
ternilai,
adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang
bergelombang
datang dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota
kemudian
terbentuk, menjadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para
pelancong
yang akhirnya menetap—kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah
sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa
pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan
matang di
usia remaja—seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.
Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari
pulaunya,
Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota
berteluk hangat
di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah
rahasia
besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet
memadati
puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur
pulau
Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan
Bukit
Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil
membuat
jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”
Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak
tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan
keahlian
yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut
yang
berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan
gemilang,
dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik
sebagai pemburu
walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar
Zhu Miau
Jung—pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah
yang
bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di
Nusantara Timur
percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia
tertantang
untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku
telah mulai
tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukkan tak pernah
mengenal
umur. Tapi kau harus harus segera menetapkan pilihan hidupmu.
Pergilah, Zhu,
kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap
walet-walet itu,
dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama
besar
ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”
Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang
dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya
panjang
berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung
pipitnya yang
berkali membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi
terkenal
seantero mata angin.
Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali
singgah
untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari
walet
menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang:
tempat
menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan
kain dan
gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu
menjabat tangan
Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga
Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung,
membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan
turun
lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada
ladangladang
kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan
bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan
itu mereka
menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya
hak
sama, dan tak sudi untuk pergi.
Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai.
Made
Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah
lembah, “Celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin
memuncak,
dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah
pucat dan
gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang
langsung
siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini
pertanda
celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa
nyawa
dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan
kasar di
kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk
raksasa
bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau
gajah-gajah
yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan,
“Pergilah manis, hus,
hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah
memiliki tautan
hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai
membelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali
menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai
barisan
gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”
Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan
gajah yang
mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung
ini berurusan
dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200
petani kopi
yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh
berkata:
“Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan
negara
ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan
tidak punya
niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski
leluhur
kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami
adalah....”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan
tembakan
menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada
mereka,
bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap
bersalah,
dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi
dan ladang,
untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali
kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak
perlu lagi
bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi
Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki
berkumpul
di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus
asa, aku
sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama
mengepul,
lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian.
Gelap aku
menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di
pekat
hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu
telah hilang
digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang
entah,
sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan
pintu gerbang
ini.
“Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya
tidak
sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
***
Sulaiman, dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang
membawa
karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali
ini, Zhu melihat
sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggenggam
erat tangan
perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain—yang jelas
pastilah
bukan biji kopi—dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu
melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”
“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan
Nyiwar.
“Saya tidak membawa...”
“Sutinaaaah,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian
belum
makan berhari-hari? Demi Tuhan, aku sudah mendengar berita-berita
soal
kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua sopir menceritakan isu-isu
simpangsiur.
Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan
makanan!”
Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “Setiap petugas yang datang
memeriksa
gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji
kopi dari
perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu,
Sulaiman,
bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam
pikiranku,
bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Nah, sampai dua hari
lalu, aku
mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada
karung-karung
biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara,
gudangku akan
dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah
bersama ibumu.
Sutinah sudah menyiapkannya. Setelah itu, pergilah.... Demi Tuhan,
Sulaiman,
aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti
ini? Aku tidak
bisa menawarkan kalian untuk tinggal.” “Saya memang tidak tahu di
mana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke
sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara
tetap membeli
kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu
saya tidak
akan lagi merepotkan....”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[...]
Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap
tinggallah di
kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa
ada banyak
orang di rumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia
mengerti.
Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan
tua,
menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia
melihat kedua
orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu
menitik dalam
diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia
lihat, tapi
bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu
berdiri
tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang
yang bisa
kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang
untuk
pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya
dengan sepenuh jiwa.
Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata.
Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa
melihat.
Dengan hati perih.
***
Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan
Nyiwar,
telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat
menderita.
Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan
getaran
dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam.
Pola-pola dari
silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang
menyerupai
api, cinta, dendam, serta gambar-gambar dekoratif dalam olahan
lambang daun,
tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk berkaca pada
dirinya, serta
hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah
gila cinta
yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang
terekam
dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh
Zhu merasa
telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap
ruas jalan.
Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua
belas jam!
Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....” Zhu memberi
perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah
menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan
mencoba
menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang
berarak.
Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada
kabar.
Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang
hari,
seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar,
“Tidak
sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah
di sini.”
“Terimakasih Nona. Tapi kenapa?” Sulaiman menyela.
Ia merasa heran.
“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan
namanya
padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan
kini, aku
siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan
keputusanku yang
terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus
memeluk Nyiwar,
melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tangannya, dan melihat
ada apakah di
balik tubuh ringkih yang sesungguhnya teramat perkasa ini? Dari
mana datangnya
kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan
keindahan, kobaran
cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian
sulaman kain tapis yang
begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin
merengkuhkan
seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil, “Ibu”.
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami
langit di
halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.
“Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain
tapis, seperti
hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang
jarum
sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman.
Seperti cinta yang
tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah.
Cobalah Nona
genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang,
warna-warna,
semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar....”
Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang tentang masa kecil Sulaiman. Tentang penembakan. Tentang air
mata
yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang
air hujan.
Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua,
semua
adalah keringat kami. Dan juga doa.” Nyiwar kadang terkekeh saat
menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela
para petani.
Menyelundupkan
biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar para
petani bisa bertahan, di tengah berbagai ancaman. Ia seperti
ayahnya. Tak bisa melihat
orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala
sendiri, saat ayahnya
ditembak mati.”
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus
berganti, maka
cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di
kejauhan kamar,
tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan
ribuan kunangkunang
yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan
bagaimana
angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu
bunga. Ia
benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta.
Berhari, berminggu,
kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas,
cara
bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya
yang terus ia
lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak
dengan
para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman
tak pulang
dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman
muncul, rona
wajah Zhu menjadi purnama.
Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya.
Pada
malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan
untuk ayahnya.
“Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya.
Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia
meminta
kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu
bulan
berganti.
Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu
kepada
Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang
kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar
pada
parasnya yang jelita.
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan
prajurit
merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota,
menyisir gunung.
Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin
jelita,
membakar gudang dan memporakporandakan segala.
Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan
di pagi
buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan
tatapan
penuh cinta. Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung
hidupnya, menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas
hamparan
kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang
mabuk dan
putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan
pujian kepada
tanah tempat lelakinya terkubur.
Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang
rumit, dan
membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang mengerakkan
seluruh
gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang
emas
dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam
gulungan
warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang
semerbak
di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain
pelepai setelah
dicipta berhari-hari.
Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan
berjalan dari
Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan
gema
suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang
pada titik
pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia.
Di atas batu
ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak
gembira,
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu,
istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh
jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku
bicara
padamu!”
Jakarta, 28 Agustus 2010
1.
Keterampilan
Soal
Keterampilan
Petunjuk
a. Carilah
tema mengenai teks cerita pendek yang akan kalian tulis!
b. Buatkah
kerangka karangan sesuai dengan struktur tes cerpen!
c. Kembangkan
kerangka karangan tersebut menjadi teks cerita pendek yang utuh!
No comments:
Post a Comment