Thursday, October 27, 2016

RPP Bahasa Indonesia Revisi Terbaru Kelas XI/1 KD : 3.2 dan 4.2 Teks Cerpen



RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Sekolah                             : SMK Widya Praja Ungaran
Mata Pelajaran                  : Bahasa Indonesia
Kelas / Semester               : XI / I
Materi Pembelajaran         : Teks cerita pendek
Tema                                  : Menemukan Solusi Atas Masalah Kewirausahaan
Alokasi Waktu                 : 4  x 45  Menit ( 2 x pertemuan)

A.           Kompetensi Inti
1.             Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2.             Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3.             Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4.             Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

B.            Kompetensi Dasar
1.3         Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan  informasi lisan dan tulis melalui teks cerita pendek, berita, iklan,  editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel
2.1          Menunjukkan perilaku jujur, responsif dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia  untuk menyampaikan cerita sejarah tentang tokoh-tokoh nasional dan internacional
3.2         Membandingkan teks cerita pendek, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalamnovel baik melalui lisan maupun tulisan
4.2         Memproduksi teks cerita pendek, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalamnovel yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisan

C.           Indikator Pencapaian Kompetensi
3.2.1     Menemukan persamaan dari dua teks cerita pendek dari segi struktur dan kaidah kebahasaanya
3.2.2     Menemukan perbedaan dari dua teks cerita pendek dari segi struktur dan kaidah kebahasaannya
4.2.1     Menemukan informasi untuk menulis teks cerita pendek
4.2.2     Menulis kerangka karangan teks cerita pendek
4.2.3     Mengembangkan kerangka karangan menjadi teks cerita pendek yang utuh

D.           Materi Pembelajaran
1.           Unsur teks cerita pendek
2.           Kaidah kebahasaan teks cerita pendek
3.           Langkah-langkah memproduksi teks cerita pendek

E.            Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama (2 jam pelajaran/90 menit)
Pendekatan      : Scientific
Model                : Problem Based Learning
Teknik              :ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan

No
Kegiatan
Waktu
Teknik
1
Kegiatan Pendahuluan
1)   Siswa menyimak ilustrasi yang disampaikan oleh guru
2)   Siswa menyimak tujuan pembelajaran  membandingkan teks cerita pendek yang disampaikan oleh guru
3)   Siswa menyimak manfaat pembelajaran membandingkan  teks cerita pendek yang disampaikan oleh guru
4)   Siswa menyimak motivasi yang disampaikan oleh guru
10 menit
Ceramah, tanya jawab
2
Kegiatan Inti
Mengamati
1)   Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok
2)   Siswa membaca teks cerita pendek berjudul Juru Masak dan Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Menanya
1)   Siswa menanyakan hal-hal yang belum dipahami terkait membandingkan teks cerita pendek
Mengumpulkan Informasi
1)   Siswa menerima lembar kerja untuk mencari persamaan dan perbedaan dua teks cerita pendek
2)   Siswa  mengidentifikasi struktur dan kaidah kebahasaan teks cerita pendek yang sudah dibaca
Mengasosiasi
1)   Siswa berdiksusi mengenai persamaan dan perbedaan kedua teks cerita pendek tersebut
2)   Siswa menuliskan  hasil jawaban di lembar kerja
Mengomunikasikan
1)      Siswa mewakili kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas
2)      Siswa lain menanggapi pemaparan temannya dengan proaktif dan peduli
70 menit
Ceramah, penugasan, tanya jawab, diskusi
3
Kegiatan Akhir
1)   Siswa dan guru membuat simpulan tentang pembelajaran membandingkan dua teks cerita pendek
2)   Siswa dan guru mengadakan refleksi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
3)   Siswa dan guru mengadakan evaluasi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
4)   Siswa menyimak tindak lanjut dari guru
10 menit
Ceramah, tanya jawab

Pertemuan Kedua (2 Jam Pelajaran/90 menit)
Pendekatan      : Scientific
Model                : Problem Based Learning
Teknik              : Ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan
No
Kegiatan
Waktu
Teknik
1
Kegiatan Pendahuluan
1)   Siswa dan guru melakukan tanya jawab tentang materi lama yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan
2)   Siswa menyimak tujuan pembelajaran  memproduksi teks cerita pendek  yang disampaikan oleh guru
3)   Siswa menyimak manfaat pembelajaran memproduksi  teks cerita pendek  yang disampaikan oleh guru


10  menit

Ceramah, tanya jawab
2
Kegiatan Inti
Mengamati
1)   Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok
2)   Siswa duduk sesuai dengan kelompoknya
3)   Tiap-tiap kelompok diberikan sebuah peristiwa sejarah yamg akan dikembangkan menjadi teks cerita pendek yang utuh
4)   Siswa membaca contoh teks cerita pendek sesuai dengan teks cerita pendek masing-masing
Menanya
1)   Siswa dan guru  melakukan tanya jawab mengenai langkah-langkah menulis teks cerita seajrah

Mengumpulkan Informasi
1)   Siswa bekerja secara kelompok untuk mengumpulkan informasi-informasi untuk menyusun teks cerita pendek
Mengasosiasi
1)   Siswa berdiksusi untuk membuat kerangka karangan
2)   Siswa mengembangkan kerangka karangan menjadi teks cerita pendek yang utuh
Mengomunikasikan
1)         Perwakilan dari kelompok menyampaikan hasil pekerjaannya di depan kelas
2)         Siswa yang lain menyimak dan menanggapi dengan proaktif

70 menit
Diskusi, ceramah, tanya jawab, penugasan
3
Kegiatan Akhir
1)        Siswa dan guru membuat simpulan tentang memproduksi teks cerita pendek
2)        Siswa dan guru mengadakan refleksi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
3)        Siswa dan guru mengadakan evaluasi terkait dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan
4)        Siswa menyimak tindak lanjut dari guru

10 menit

Ceramah, tanya jawab

F.            Penilaian, Pembelajaran Remedial dan Pengayaan

1.      Teknik Penilaian: Observasi, Tes Tertulis, dan Produk.
2.      Instrumen Penilaian
a.       Pertemuan 1
1)      Lembar Observasi
2)      Soal Uraian

b.      Pertemuan 2
1)      Lembar Observasi
2)      Produk
3.      Remidial dan Pengayaan
a.       Remidial: Pemberian bimbingan khusus mengenai kegiatan mengidentifikasi informasi isi serta menyimpulkan isi teks laporan hasil observasi.
b.      Pengayaan: Secara mandiri siswa mencari teks laporan hasil observasi di buku pengetahuan populer lalu mengidentifikasi informasi isi serta menyimpulkan isi teks yang didapatkan.

G.           Media/Alat, Bahan, dan Sumber Belajar
1.      Media                      : Power point langkah-langkah memproduksi teks cerita pendek
2.      Alat dan bahan        : Laptop, LCD, Proyektor
3.      Sumber Belajar        :
Kemdikbud, 2015. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik. Kelas XII. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud, 2015. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik: Buku guru. Jakarta: Kemdikbud.

         Ungaran,
Mengetahui,                                                                           
Kepala SMK Widya Praja                              Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia



....................................................                    ...............................................................
   ( Drs. Eko Sutanto)                                                  (Dwi Putra W.S.A.P)




LAMPIRAN 1. Bahan Ajar

1.             Struktur Teks cerita pendek
§  Bagian abstrak merupakan ringkasan atau inti cerita. Abstrak pada sebuah teks cerita pendek bersifat opsional. Artinya sebuah teks cerpen bisa saja tidak melalui tahapan ini.
§  Tahapan orientasi merupakan struktur yang berisi pengenalan latar cerita berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerpen. Latar digunakan pengarang untuk menghidupkan cerita dan meyakinkan pembaca. Dengan kata lain, latar merupakan sarana pengekspresian watak, baik secara fisik maupun psikis.
§  Komplikasi berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pada tahapan struktur ini, kalian akan mendapati karakter atau watak pelaku cerita yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu dan hal itu diekspresikan dalam ucapan dan tindakan tokoh. Dalam komplikasi itulah berbagai kerumitan bermunculan
§  Klimaks ini merupakan keadaan yang mempertemukan berbagai konflik dan menentukan bagaimana konflik tersebut diselesaikan dalam sebuah cerita. Untuk mencapai sebuah selesaian atau leraian, diperlukan evaluasi. Pada tahapan evaluasi ini, konflik yang terjadi diarahkan pada pemecahannya sehingga mulai tampak penyelesaiannya.
§  Setelah itu, kalian akan mengenal struktur berikutnya, yaitu resolusi. Padaresolusi, pengarang akan mengungkapkan solusi dari berbagai konflik yang dialami tokoh. Resolusi berkaitan dengan koda. Ada juga yang menyebut koda dengan istilah reorientasi.
§  Koda merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca dari sebuah teks. Sama halnya dengan tahapan abstrak, koda ini bersifat opsional.

2.             Kaidah Bahasa Teks cerita pendek
§  Gaya bahasa merupakan bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Penggunaan gaya bahasa ini dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Terdapat sekitar 60 gaya bahasa. Namun, Gorys Keraf membaginya menjadi empat kelompok, yaitu gaya bahasa perbandingan (metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, dan sebagainya), gaya bahasa pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, satire, paradoks, klimaks, antiklimaks, dan sebagainya), gaya bahasa pertautan (metonimis, sinekdoke, alusi, eufemisme, elipsis, dan sebagainya), dan gaya bahasa perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, anafora, simploke, dan sebagainya). Agar kalian lebih mengetahui gaya bahasa ini secara mendalam, sebaiknya kalian mencari referensi lain mengenai gaya bahasa dari berbagai sumber. Baca dan pelajarilah.
§  Kosakata sulit

3.             Langkah-Langkah Memproduksi Teks cerita pendek
1.      Menentukan tema cerita pendek
2.      Menyusun kerangka karangan sesuai dengan struktur teks cerita pendek
3.      Mengembangkan kerangka menjadi karangan yang utuh
LAMPIRAN 2. Instrumen Penilaian

1.      Teknik dan Bentuk Instrumen

Teknik
Bentuk
Pengamatan Sikap  
Lembar Pengamatan Sikap dan Rubrik
Tes Unjuk Kerja 
Tes Uji Petik Kerja dan Rubrik


2.      Instrumen Penilaian
Pengamatan Sikap


a.       Lembar Pengamatan Sikap
No
Nama Siswa
Religius
Jujur
Disiplin
Peduli
Santun
BT
MT
MB
MK
BT
MT
MB
MK
BT
MT
MB
MK

BT


MT

MB

MK
BT
MT
MB
MK
1.





















2.





















3.





















….















































b.      Rubrik penilaian sikap
Rubrik
Skor
Sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh  dalam melakukan kegiatan
BT

Menunjukkan sudah ada  usaha sungguh-sungguh  dalam melakukan kegiatan tetapi masih sedikit dan belum konsisten
MT
Menunjukkan ada  usaha sungguh-sungguh  dalam melakukan kegiatan yang  cukup sering dan mulai konsisten
MB
Menunjukkan adanya  usaha sungguh-sungguh  dalam melakukan kegiatan secara terus-menerus dan konsisten
MK
Nilai Sikap = (Jml skor diperoleh : 16) x 100

a.       Tes uji petik kerja Interpretasi teks (Kelompok)
1.      Baca dan diskusikan teks laporan hasil observasi yang telah kalian terima dari guru!
2.      Carilah kalimat utama pada setiap paragraf teks laporan hasil observasi!
3.      Tentukan gagasan pokok yang ada pada setiap paragraf!
4.      Rangkumlah kumpulan kalimat utama pada semua semua paragraf teks editorial/opini!
5.      Komunikasikan hasil kerja kelompok kalian kepada kelompok lainnya!

Rubrik Unjuk Kerja :
No.
Aspek dan Deskripsi
Skor Maksimal
1.
Menyimpulkan teks
Skor 5 bila simpulan teks tepat
Skor 3 bila simpulan teks kurang tepat
Skor 1 bila simpulan teks tidak tepat



5
2.
Penggunaan bahasa dalam menyimpulkan
Skor 5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor 3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor 1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.


5
3.
Penggunaan bahasa dalam mengomunikasikan hasil
Skor 5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor 3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor 1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.

5
4.
Keaktifan kelompok
Skor 5 bila kelompok aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.
Skor 3 bila kelompok kurang aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.
Skor 1 bila kelompok tidak aktif dalam berdiskusi maupun ketika mengomunikasikan.



5
Jumlah
20
Nilai Keterampilan = (Jumlah skor diperoleh : 20) x 100

b.      Tes Uji petik kerja
1. Baca dan diskusikan teks laporan hasil observasi yang telah kalian terima dari guru!
2. Carilah kalimat utama pada setiap paragraf teks laporan hasil observasi!
3. Tentukan gagasan pokok yang ada pada setiap paragraf!
4. Rangkumlah kumpulan kalimat utama pada semua semua paragraf teks editorial/opini!

   Rubrik Unjuk Kerja :
No.
Aspek dan Deskripsi
Skor Maksimal
1.
Menyimpulkan teks
Skor 5 bila simpulan teks tepat
Skor 3 bila simpulan teks kurang tepat
Skor 1 bila simpulan teks tidak tepat



5
2.
Penggunaan bahasa dalam menyimpulkan
Skor 5 bila bahasa yang digunakan tepat dan baik.
Skor 3 bila bahasa yang digunakan kurang tepat dan kurang baik.
Skor 1 bila bahasa yang digunakan tidak tepat dan tidak baik.


5
Jumlah
10
Nilai Keterampilan = (Jumlah skor diperoleh : 10) x 100

Tes Uraian

Petunjuk
a.      Bacalah secara cermat teks cerita pendek berjudul “Juru Masak” dan “Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina”
b.      Setelah itu, lengkapilah kolom struktur teks cerita pendek berikut!
Struktur
Juru Masak
Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Orientasi




Urutan Peristiwa







Reorientasi





Persamaan



Perbedaan




Juru Masak

Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai kambing akan terasa
hambar lantaran racikan bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah gulai
kentang dan gulai rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa
parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah
fitnah dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah. Bukan karena kenduri
kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan
pengantin tak sedap dipandang mata, tetapi karena macam-macam hidangan
yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tetapi helat
tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tidak
dilibatkan.
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang
digelar dengan menyembelih tiga belas ekor kambing dan berlangsung selama
tiga hari, tidak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai
pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah
berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung
akan dipercayakan kepada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang
ini. Namun, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai
pria tiba, gulai kambing, gulai nangka, gulai kentang, gulai rebung, dan aneka
hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga
calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan
masakan Makaji.
“Kalau besok gulai nangka masih sehambar ini, kenduri tak usah dilanjutkan!”
ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar,
sehambar gulai kambing dan gulai rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan
membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli
apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak
atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji
tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh
Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap
gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
***
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung
ini, bagaimana kalau tanggung jawab itu dibebankan pada yang lebih muda?”
saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti.”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik
bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru
masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi
berjauhan dengan Ayah.”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orang tua memang
selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya,
meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang
ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu.
Orang tua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan
kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial akan segera
memboyongnya ke rantau. Makaji tetap akan mempunyai kesibukan di Jakarta,
ia akan jadi juru masak di rumah makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah
sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan.”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis
Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab
hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak
perempuan tunggal beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di
Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini
miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu
beres di tangannya. Mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang, atau tambak
ikan sebagai agunan. Dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian
itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat
dari akademi perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa
bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial
itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan
siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer
sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru
masak!” bentak Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung
juga di telinga Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami berjodoh.”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan
saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah
tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya
Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati
Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa
luka hati.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang perantau
dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi
sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk
semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini
sudah jadi juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak
buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan.
Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis
Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling
sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula,
sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang
merawat. Adik-adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang.
Meski hidup Azrial sudah berada, tetapi ia masih saja membujang. Banyak yang
ingin mengambilnya jadi menantu, tetapi tak seorang perempuan pun yang
mampu meluluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni,
atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
***
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan
ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka
peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar
kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang
dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna
menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian
memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu.
Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tetapi perwira
muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara,
orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak
membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian
hingga resmi jadi perwira muda. Terdengar kabar bahwa perjodohan itu
terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan
Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan
mencarikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih
bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi,
perwira muda polisi yang bila tidak “macam-macam” tentu kariernya lekas
menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tetapi,
pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh
ekor kambing itu tidak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang
hanya datang di hari pertama, sekadar menyaksikan benda-benda pusaka adat
yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik
meninggalkan helat. Bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan,
sudah tergesa pulang.
“Gulai kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah gulai rebungnya encer seperti kuah sayur toge. Kembang perut kami
dibuatnya.”
“Masakannya tak mengenyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria
diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan
menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang
tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di
Lareh Panjang mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu rasa masakan hasil
olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu
mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu.”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini.”
***
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji datang
dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah
berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari
tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak
handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga
ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan
betapa terpiuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya
telah dipersunting lelaki lain.
(Sumber: Damhuri Muhammad, 2009, Juru Masak: Sehimpun Cerita Pendek, Depok:
Koekoesan)


Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina

Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut
kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam
yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan
memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit
menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah
Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karangkarang
yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari
Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar,
dan awan awan biru—semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk
kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain
sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus
asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah
tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar
pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga
yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi
liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan
berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang
membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah,
dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut
ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah
laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung
Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan
meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara
padamu!”
***
Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut di pagi hari,
maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari kehangatan
perpaduan kepundan dan matahari—yang kehangatan udaranya mungkin tidak
akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah
hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat
memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah surga
dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang.
Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang
mencipta gairah untuk syarat berkembang-biak—ratusan, bahkan mungkin
ribuan tahun—tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser,
hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan
menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu
akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak bercericit
menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar Lampung.
Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang. Istana tempat
terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman, berupa
gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.
Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, adalah jebakan cerdik
yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari kehidupan lepas
di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan. Sesungguhnyalah,
walet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan jalan
pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir tentang
kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati
jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya, yang
kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat tinggi.
Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai,
adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang
datang dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian
terbentuk, menjadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong
yang akhirnya menetap—kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa
pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di
usia remaja—seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.
Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari pulaunya,
Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota berteluk hangat
di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah rahasia
besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet memadati
puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur pulau
Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan Bukit
Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat
jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”
Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak
tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian
yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang
berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang,
dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu
walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau
Jung—pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang
bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur
percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia tertantang
untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku telah mulai
tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukkan tak pernah mengenal
umur. Tapi kau harus harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu,
kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu,
dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar
ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”
Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang
dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang
berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang
berkali membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi terkenal
seantero mata angin.
Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah
untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet
menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat
menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan
gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan
Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.” Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung,
membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun
lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladangladang
kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan
bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka
menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak
sama, dan tak sudi untuk pergi.
Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made
Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak,
dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan
gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung
siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda
celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa
dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di
kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa
bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah
yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus,
hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan
hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali
menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan
gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”
Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang
mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan
dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi
yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata:
“Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara
ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya
niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur
kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka,
bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah,
dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang,
untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi
bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi
Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul
di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku
sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul,
lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian. Gelap aku
menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat
hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang
digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang entah,
sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang
ini.
“Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak
sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
***
Sulaiman, dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa
karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat
sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggenggam erat tangan
perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain—yang jelas pastilah
bukan biji kopi—dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu
melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”
“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar.
“Saya tidak membawa...”
“Sutinaaaah,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum
makan berhari-hari? Demi Tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal
kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua sopir menceritakan isu-isu simpangsiur.
Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan makanan!”
Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “Setiap petugas yang datang memeriksa
gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari
perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman,
bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku,
bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku
mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung
biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan
dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu.
Sutinah sudah menyiapkannya. Setelah itu, pergilah.... Demi Tuhan, Sulaiman,
aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak
bisa menawarkan kalian untuk tinggal.” “Saya memang tidak tahu di mana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke
sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli
kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak
akan lagi merepotkan....”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[...]
Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap tinggallah di
kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak
orang di rumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia
mengerti.
Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua,
menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua
orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam
diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi
bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri
tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang yang bisa
kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk
pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa.
Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata.
Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat.
Dengan hati perih.
***
Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar,
telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita.
Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran
dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari
silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang menyerupai
api, cinta, dendam, serta gambar-gambar dekoratif dalam olahan lambang daun,
tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk berkaca pada dirinya, serta
hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta
yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam
dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa
telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan.
Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam!
Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....” Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah
menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba
menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak.
Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar.
Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari,
seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak
sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah di sini.”
“Terimakasih Nona. Tapi kenapa?” Sulaiman menyela.
Ia merasa heran.
“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya
padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku
siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang
terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar,
melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tangannya, dan melihat ada apakah di
balik tubuh ringkih yang sesungguhnya teramat perkasa ini? Dari mana datangnya
kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan, kobaran
cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang
begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan
seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil, “Ibu”.
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di
halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.
“Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain tapis, seperti
hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum
sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang
tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona
genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna,
semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar....”
Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang tentang masa kecil Sulaiman. Tentang penembakan. Tentang air mata
yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan.
Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua, semua
adalah keringat kami. Dan juga doa.” Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani.
Menyelundupkan
biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar para
petani bisa bertahan, di tengah berbagai ancaman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa melihat
orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri, saat ayahnya
ditembak mati.”
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti, maka
cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar,
tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunangkunang
yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana
angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia
benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu,
kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara
bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia
lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan
para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang
dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona
wajah Zhu menjadi purnama.
Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada
malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
“Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya.
Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta
kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan
berganti.
Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada
Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang
kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada
parasnya yang jelita.
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit
merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung.
Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita,
membakar gudang dan memporakporandakan segala.
Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan di pagi
buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan
penuh cinta. Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan
kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk dan
putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan pujian kepada
tanah tempat lelakinya terkubur.
Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan
membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang mengerakkan seluruh
gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas
dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan
warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang semerbak
di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai setelah
dicipta berhari-hari.
Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari
Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema
suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik
pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu
ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira,
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara
padamu!”
Jakarta, 28 Agustus 2010




1.             Keterampilan
Soal Keterampilan

Petunjuk
a.       Carilah tema mengenai teks cerita pendek yang akan kalian tulis!
b.      Buatkah kerangka karangan sesuai dengan struktur tes cerpen!
c.       Kembangkan kerangka karangan tersebut menjadi teks cerita pendek yang utuh!



No comments:

Post a Comment